Gaharu cendana pula, sudah tahu bertanya pula. Tapi apakah semua orang tahu tentang gaharu? “Kayu para dewa” ini hanya populer sebagai peribahasa. Ia kurang populer sebagai komoditas meski nilai ekonominya sangat tinggi.
Lidah orang Indonesia sudah kadung menyebut gaharu sebagai pohon. Padahal gaharu sebenarnya bukan sejenis pohon melainkan hasil resin dari kayu Aquilaria.
Gaharu bisa muncul secara alami pada batang pohon Aquilaria. Resin itu timbul karena ada bakteri yang menginfiltrasi sehingga pohon Aquilaria menjadi sakit. Pohon sakit itulah yang menghasilkan resin gaharu pada pokok batangnya.
Namun, tidak semua pohon Aquilaria dapat menghasilkan gaharu. Hanya 10 persen dari total populasi pohon Aquilaria yang dapat menghasilkan resin mahal itu. Satu catatan lagi, gaharu hanya bisa dihasilkan melalui proses alami dan tidak bisa diproduksi secara pabrikan.
Karena proses gaharu alami ini lama dan jarang terjadi, maka kini diproses melalui campur tangan manusia. Petani gaharu membuat resin dengan cendawan berisi mikroba yang dimasukkan ke pohon gaharu.
Ketika pohon Aquilaria diserang bakteri, ia akan mempertahankan diri dari serangan dengan menghasilkan senyawa. Lama kelamaan senyawa itu menumpuk pada bagian batang kayu. Kayu Aquilaria lantas berubah menjadi coklat kehitaman—makin pekat warnanya makin tinggi pula harganya. Bila gaharu kualitas super itu dibakar aroma wanginya akan semakin mencuat.
Karena aroma gaharu yang menggoda, masyarakat kuno memanfaatkannya sebagai dupa dan bahan wewangian dan sebagai bagian dari ritual keagamaan dan pengobatan. Pemanfaatan gaharu ini bahkan sudah dikenal ribuan tahun lalu di Timur Tengah. Dalam kitab Perjanjian Lama disebutkan orang-orang Timur Tengah memanfaatkan gaharu untuk pengobatan dan wewangian. Sementara dalam Sahih Muslim sekitar abad kedelapan silam disebutkan gaharu dipakai para tabib untuk pengobatan.
Nilai Ekonomis Gaharu
Keistimewaan aroma “kayu para dewa” inilah yang memicu terjadinya perdagangan gaharu sejak ribuan tahun silam. Menurut Rozi Mohamed dalam Agarwood: Science Behind the Fragrance (2016) perdagangan gaharu masyarakat Nusantara telah melakukan perdagangan gaharu alami dengan Cina sejak zaman Jalan Sutera.
Hingga kini resin wangi ini terus memiliki nilai komoditas ekonomi tinggi. Namun jumlah produktifitas gaharu lambat laun terbatas sementara permintaan semakin tinggi. Hal ini membuat harga gaharu makin melangit. Menurut laporan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada 2015 harga satu kilogram gaharu dapat mencapai Rp650 ribu hingga Rp400 juta, tergantung dari kualitas gaharu.
Selasa pekan ini, Kementerian Perdagangan Indonesia merilis kabar perusahaan asal Indonesia PT Idaman Polanusa memasok 100 ton gaharu ke Arab Saudi. “Total nilai kontrak ekspor gaharu tersebut mencapai lebih dari SAR 30 juta atau Rp100 miliar. Hal ini menunjukkan besarnya potensi ekspor gaharu ke Arab Saudi,” ujar Kepala Indonesian Trade Promotion Center (ITPC) Jeddah, Gunawan seperti dirilis Kemendag.
Menurut rilis itu, hingga Juni lalu, gaharu telah diekspor lebih dari 10 ton dengan nilai lebih dari SAR 8 juta atau lebih dari Rp28 miliar.
Arab Saudi memang menjadi tujuan utama ekspor gaharu asal Indonesia. Data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyebut pada 2014 nilai ekspor gaharu Indonesia ke Arab Saudi mencapai 3,1 juta dolar AS atau setara Rp40 miliar. Nilai ekspor ini meningkat dibandingkan pada 2009 silam dengan capaian 1,7 juta dolar AS.
Selain ke Arab Saudi, Indonesia juga mengekspor gaharu ke Singapura. Nilai ekspornya mencapai 3 juta dolar AS pada 2014. Menyusul berikutnya ke Taiwan dengan nilai ekspor tembus 1,8 juta dolar AS. Pertumbuhan ekspor gaharu Indonesia ke luar negeri juga menunjukkan peningkatan. Pada periode 2007-2014, menurut Kementerian KLH, ekspor hasil hutan bukan kayu (HHBK) Indonesia tumbuh sebesar 21,54 persen.
Laporan Convention on International Trade in Endangered Species (CITES) menyebutkan Indonesia termasuk pemasok terbesar kebutuhan gaharu dunia dengan volume sekitar 923 ton pada periode 1995-1997. Sedangkan data terakhir dari Puslitbang Perubahan Iklim dan Kebijakan Kehutanan menyebutkan volume ekspor gaharu Indonesia pada 2012 mencapai
sekitar 4.000 ton.
Persoalan Gaharu di Indonesia
Kendati demikian, perdagangan gaharu di Indonesia masih menyisakan masalah dari pembudidayaan yang belum optimal hingga perdagangan ilegal. Di sisi lain, ekspor gaharu juga dihadapkan pada belum maksimalnya pengolahan komoditas ini sehingga memiliki bisa punya nilai lebih.
Data Ditjen Bina Usaha Kehutanan menunjukkan ekspor Indonesia masih mengandalkan gaharu alami ketimbang gaharu budidaya. Sebagai contoh pada 2013 ekspor gaharu hasil budidaya baru sekitar 100 ton sementara ekspor gaharu alam liar menembus hingga lebih dari 800 ton.
Di sisi lain, perdagangan gaharu tidak lepas dari praktik-praktik ilegal. Antara September dua tahun lalu melaporkan praktik perdagangan ilegal gaharu terjadi di wilayah-wilayah perbatasan Indonesia-Malaysia. Perdagangan ilegal ini berhasil digagalkan oleh Komandan Korem 121/Abw, Kolonel Inf Alfret Denny D. Tauejeh dan pasukannya di wilayah perbatasan di Entikong, Sanggau, Kalimantan Barat.
“Kayu gaharu yang ditangkap ada 3 ton dan kasusnya sudah diserahkan ke kepolisian,” katanya.
Selain itu, masalah yang membelit adalah soal pengolahan gaharu. Timur Tengah sebagai negara tujuan eskpor Indonesia ternyata mengolah lagi gaharu yang mereka impor. Para pebisnis gaharu Timur Tengah ini mencampur berbagai jenis gaharu sehingga tercipta aroma-aroma baru. Setelah itu, mereka mengekspor produk baru itu ke negara-negara Eropa. Hal inilah yang belum banyak dilakukan di Indonesia, demikian sebut Diana Septiningrum dalam makalah berjudul “Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penawaran Ekspor Gaharu Indonesia.”
Untuk mengatasi masalah itu, menurut Diana, pemerintah Indonesia perlu meningkatkan kapasitas pengetahuan kepada para pelaku usaha gaharu. Pemerintah juga perlu melakukan negosiasi dengan negara pengimpor gaharu untuk menentukan bea masuk ekspor gaharu.
Selain itu, lanjut Diana, pemerintah juga perlu meningkatkan kualitas produk gaharu Indonesia. Satu yang tak kalah penting yakni Indonesia perlu memikirkan penjualan langsung gaharu ke konsumen, bukan melalui negara-negara re-ekspor seperti Cina dan Singapura. Indonesia, kata Diana, juga perlu menyusun kebijakan pengembangan budidaya gaharu.
Namun, nampaknya, usulan peneliti dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan itu belum terealisasi. Pemerintah masih mengikuti kata pepatah gaharu cendana pula, sudah tahu tak dilakukan juga.
Kendati demikian, perdagangan gaharu di Indonesia masih menyisakan masalah dari pembudidayaan yang belum optimal hingga perdagangan ilegal. Di sisi lain, ekspor gaharu juga dihadapkan pada belum maksimalnya pengolahan komoditas ini sehingga memiliki bisa punya nilai lebih.
Data Ditjen Bina Usaha Kehutanan menunjukkan ekspor Indonesia masih mengandalkan gaharu alami ketimbang gaharu budidaya. Sebagai contoh pada 2013 ekspor gaharu hasil budidaya baru sekitar 100 ton sementara ekspor gaharu alam liar menembus hingga lebih dari 800 ton.
Di sisi lain, perdagangan gaharu tidak lepas dari praktik-praktik ilegal. Antara September dua tahun lalu melaporkan praktik perdagangan ilegal gaharu terjadi di wilayah-wilayah perbatasan Indonesia-Malaysia. Perdagangan ilegal ini berhasil digagalkan oleh Komandan Korem 121/Abw, Kolonel Inf Alfret Denny D. Tauejeh dan pasukannya di wilayah perbatasan di Entikong, Sanggau, Kalimantan Barat.
“Kayu gaharu yang ditangkap ada 3 ton dan kasusnya sudah diserahkan ke kepolisian,” katanya.
Selain itu, masalah yang membelit adalah soal pengolahan gaharu. Timur Tengah sebagai negara tujuan eskpor Indonesia ternyata mengolah lagi gaharu yang mereka impor. Para pebisnis gaharu Timur Tengah ini mencampur berbagai jenis gaharu sehingga tercipta aroma-aroma baru. Setelah itu, mereka mengekspor produk baru itu ke negara-negara Eropa. Hal inilah yang belum banyak dilakukan di Indonesia, demikian sebut Diana Septiningrum dalam makalah berjudul “Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penawaran Ekspor Gaharu Indonesia.”
Untuk mengatasi masalah itu, menurut Diana, pemerintah Indonesia perlu meningkatkan kapasitas pengetahuan kepada para pelaku usaha gaharu. Pemerintah juga perlu melakukan negosiasi dengan negara pengimpor gaharu untuk menentukan bea masuk ekspor gaharu.
Selain itu, lanjut Diana, pemerintah juga perlu meningkatkan kualitas produk gaharu Indonesia. Satu yang tak kalah penting yakni Indonesia perlu memikirkan penjualan langsung gaharu ke konsumen, bukan melalui negara-negara re-ekspor seperti Cina dan Singapura. Indonesia, kata Diana, juga perlu menyusun kebijakan pengembangan budidaya gaharu.
Namun, nampaknya, usulan peneliti dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan itu belum terealisasi. Pemerintah masih mengikuti kata pepatah gaharu cendana pula, sudah tahu tak dilakukan juga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar